Rabu, 23 November 2011

Maaf dan Marah

secara sekilas, keduanya tampak saling bertentangan? Terkadang kita juga salah dalam menempatkan kedua sikap ini pada tempatnya. Berikut akan diuraikan keterangan (syarah) hadits yang diambil dari kitab “Riyadhus Shalihin” karya Imam Nawawi rahimahullah.
Hadits no. 647
Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda: “Bukanlah kekuatan itu terletak pada pegulat, namun kekuatan itu diukur dalam mengekang nafsu di saat memuncaknya emosi/amarah seseorang” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fawaid hadits:
Islam merubah pemahaman tentang “kekuatan” menurut pemahaman jahiliah kepada pemahaman Islam.
Berusaha untuk melawan hawa nafsu lebih berat dari pada melawan musuh (secara fisik -ed)
Wajibnya menjauhkan diri kita sendiri dari sifat marah
Marah itu merupakan sifat manusia (sifat basyariyah)
Diharamkan kita melewati batas terhadap orang lain.
Ketika sedang marah (emosi -ed), disunnahkan kita melakukan hal sebagai berikut:
Membaca ta’awudz
Merubah posisi. Jika kita lagi duduk, maka ubah posisi dengan berdiri. Dan jika kita sedang berdiri, maka ubah posisi kita dengan duduk.
Dianjurkan untuk diam
Adapun selain dari ketiga ini, seperti berwudhu’ dan yang lainnya, haditsnya lemah.
Bab 76. Sabar dari Gangguan Orang Lain.
Allah berfirman:
“…Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran: 134)
Dan Dia berfirman:
“Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Asy-Syuura: 43)
Hadits No. 648:
Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya ada seorang pria bertanya; Ya Rasulullah, aku punya banyak kerabat dan aku berusaha menyambung (silaturahim) mereka, namun mereka memutuskan (silaturahim) kepadaku. Dan aku tetap berusaha baik kepada mereka, namun mereka membalasnya dengan keburukan terhadap aku. Dan aku selalu sabar menghadapi mereka, sedangkan mereka terus menyakitiku. Beliau bersabda: “Jika keadaanmu seperti apa yang kamu katakan, maka itu seolah-olah kamu memberikan abu panas kepada mereka. Dan kamu akan tetap ditolong Allah selama kamu tetap berbuat demikian.” (HR. Muslim)
Fawaid hadits no. 648:
Asal dalam bermuamalah dengan kerabat/famili adalah berbuat baik, saling menyambung silaturrahim, sabar dan selalu memaafkan
Membalas kejelekan dengan kebaikan
Tidak ada yang paling baik bagi orang yang berbuat jahat kepada kita, kecuali dengan ta’at kepada Allah
Melaksanakan perintah Allah atau ta’at kepada Allah merupakan sebab datangnya pertolongan Allah
Memutuskan silaturahmi, merupakan kepedihan dari adzab dunia.
Hendaknya seorang muslim mengharap ganjaran Allah dan bersabar terhadap gangguan orang lain.
Buya Hamka menjelaskan (dalam Tasauf Moderen) kita dibolehkan marah untuk dua hal yaitu:
1. Marah mempertahankan kehormatan. Jika anggota keluarga kita dicemarkan, dihina, dilecehkan dan direndahkan orang, Kita marah dan membalas dengan marah, mengambil pembalasan menegakkan harkat martabat keluarga dengan cara yang haq. Marah yang seperti ini diberi nama ghirah lissyaraf (cemburu menjaga kehormatan).
2. Marah mempertahankan agama, ghirah alad-Dhin (cemburu atas agama), marah karena Allah (agama), menegakkan keadilan dan kebenaran. Kemarahan dalam agama membolehkan menyerang negeri musuh yang hendak mengusir kita dari negeri sendiri, dan membunuh lawan, tetapi tidak membolehkan membakar rumah, menebang pohon yang berbuah dan menganiaya musuh yang sudah mati.
note:
Seorang muslim semestinya harus marah manakala larangan-larangan Allah dilanggar, sebab marah karena Allah merupakan motivasi yang menggerakkan kekuatan untuk mengubah kemungkaran. Barangsiapa tidak marah karena Allah ketika larangan Allah diterjang, tidak ada semangat dalam dirinya untuk mengubah kemungkaran, bahkan mencari dalih-dalih kosong sebagai pembenaran terhadap kemungkaran itu, yang demikian itu merupakan tanda-tanda awal kehancuran suatu kaum, sebagaimana menimpa kaum-kaum terdahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar